Dunia kepenulisan tiada matinya. Dari hari ke hari, bahkan dari tahun ke tahun terus tumbuh subur. Lihat saja berapa banyak komunitas-komunitas menulis yang ada di media sosial. Juga, di toko-toko buku, tak pernah kehabisan stok buku meski permintaan akan buku terus bertambah. Begitu juga dengan skenario, kini makin banyak stasiun televisi yang berdiri, hal ini tentu saja makin bertambah permintaan akan tulisan skenario. Perkembangan film bioskop juga makin menggembirakan seiring makin banyaknya produksi film nasional.
Mungkin terbersit dalam benak kamu selama ini, atau baru saja muncul, hehee... Enakan mana sih jadi penulis buku apa penulis skenario? Dua-duanya enak. Selama kedua-duanya memberikan sesuatu yang bermakna bagi orang banyak. Iih, serius ini. Jangan ngambang dong jawabnya.
Oke deh, jangan baper gitu yaa. Berikut ini akan kami jelaskan plus minusnya jadi penulis buku dan skenario. Kamu bisa membandingkannya, tapi bukan untuk menjelek-jelekkan satu diantaranya. Karena kedua profesi ini merupakan profesi yang sangat mulia. Baik penulis buku maupun penulis skenario bila disamakan kedudukannya dengan guru, menurut kami, sama. Penulis buku dan skenario menuturkan hal-hal yang belum diketahui atau tidak terpikirkan oleh masyarakat. Sama-sama mengajarkan nilai-nilai kebaikan.
Baiklah, berikut ini plus minus antara penulis buku dengan penulis skenario, dalam hal ini produk skenario adalah film televisi maupun bioskop :
- Penulis buku karyanya hanya majang di toko buku. Masyarakat akan tahu buku kita kalau mereka pergi ke toko buku. Sementara penulis skenario karyanya nampang di televisi. Masuk ke rumah-rumah penduduk di seluruh penjuru nusantara tanpa diminta. Masyarakat bisa menikmatinya tanpa keluar rumah, tanpa keluar biaya. Kecuali film bioskop. Mereka harus pergi ke bioskop dulu dan keluar biaya untuk membeli tiket.
- Kalau buku, ia akan dibaca (dinikmati) berulang-ulang kapan saja kita mau. Artinya, sekali kita beli buku, bisa menikmatinya berulang-ulang. Sedangkan film televisi (FTV) hanya bisa dinikmati sekali tayang saja. Kita tidak bisa menikmatinya lagi di layar televisi, kecuali film itu direrun (tayang ulang) dan itu jarang sekali. Begitu pula dengan film bioskop. Kalau kita mau menikmatinya lagi harus beli VCD atau DVD-nya. Itu pun jarang ada. Kalaupun ada biasanya bajakan, dan kalau original harganya mahal.
- Penulis buku karyanya dipajang di rak toko-toko buku. Bisa dilihat orang banyak beberapa kali. Penulis skenario tidak. Karyanya hanya nampang di layar televisi sekali.
- Penulis skenario bisa membuat sinetron berseri. Jarang sekali ada novel yang berseri. Yang ada adalah novel dwilogi atau trilogi yang jalan ceritanya berkesinambungan, dan untuk bisa menikmati kelanjutan dari seri perdananya butuh waktu lama.
- Umur buku bisa tahan lama, dicetak ulang berkali-kali. Sedangkan film televisi dicetak sekali.
- Masalah royalti, penulis buku bisa mendapatkan royalti yang banyak jika bukunya naik cetak berkali-kali. Sedangkan penulis skenario hanya sekali dalam menerima royalti.
- Pemberian royalti film televisi lebih transparan dan jelas daripada royalti buku. Banyak penerbit yang tidak transparan dalam memberikan informasi tentang jumlah penjualan buku mereka, sehingga penulis merasa penerbit tersebut tidak memberikan royalti sebagaimana mestinya.
- Masalah besaran honor atau royaltinya bagaimana? Penulis buku mendapatkan honor atau royalti sesuai dengan jumlah buku yang dicetak, besarnya royalti tergantung pada penulis pemula apa sudah punya nama. Sedangkan penulis skenario honor atau royaltinya sesuai standar PH (productinon house), kecuali film bioskop, biasanya royalti atau honornya dilihat apakah ia penulis pemula atau sudah punya nama.
Bagi yang ingin belajar atau jadi penulis skenario bisa ikut kursus di sini.
0 comments:
Post a Comment