Pengarang : Hamsad Rangkuti
Lempeng tektonik adalah batuan pegunungan yang padat, besar, dan kaku
melakukan proses pembentukan corak topografi yang besar di muka Bumi.
Bumi yang tampak padat ini sebenarnya terdiri dari beberapa lempeng
tektonik membalut planet Bumi layaknya cangkang telur rebus yang
merekah. Lempeng-lempeng tektonik ini secara berkesinambungan bergerak
tanpa henti, mengalami proses perusakan dan pembangunan secara silih
berganti, mendorong, menggilas, saling menindih.
Gerakan tunjaman dalam jarak waktu 200 tahun mencapai klimaksnya dan
mendapat reaksi dari lempeng yang ditunjam. Itulah yang terjadi pada
Minggu, 26 Desember 2004, pukul 07:58:53 di ujung Pulau Sumatera, tempat
di mana dua lempeng tektonik bertemu, di dasar kerak samudra. Patahan
(sesar) naik ditambah dengan kemungkinan gerakan bukaan atau rekahan
lantai samudra menimbulkan gempa berkekuatan 9 skala Richter. Lantai
samudra yang patah menyebabkan kestabilan air laut terganggu secara
vertikal maupun horizontal. Serapan ruang kosong yang tercipta
menyurutkan air di pantai. Kedua lempeng tektonik yang bergeser dalam
prosesnya menyesuaikan keberadaannya kembali. Air samudra yang masuk ke
dalam celah disemburkan kembali saat ruang menutup. Terciptalah
gelombang besar setinggi puluhan meter menuju pantai, secepat pesawat
B747, di saat orang masih banyak terlelap setelah melewatkan malam
Minggu yang panjang.
Gelombang itu bernama tsunami. Gelombang
yang berlabuh. Pembunuh yang tak pernah gagal. Cut Putri dari lantai dua
rumah pamannya, Said Huseini, di Nanggroe Aceh Darussalam, mengabadikan
detik-detik datangnya gelombang. Hasyim menyambung pemandangan duka itu
melintas di depan Masjid Baiturrahman, mengabadikan lidah ombak
mengusung puing bangunan, kendaraan roda empat, dan jasad manusia.
Kedua pemberani itu memungkinkan aku bisa melihat peristiwa itu di
Depok. Pencapaian yang luar biasa. Dan itu bukanlah unsur kebetulan.
Ketika surut, gelombang itu menyemai ratapan. Hampir 300.000 jiwa
melayang. Jumlah yang kemudian membikin duka dunia. Bantuan dan
pertolongan berdatangan dari pelosok dunia. Televisi memperlihatkan
semua itu kepadaku, kepada seorang pengarang cerita pendek yang tak bisa
berbuat apa-apa, kecuali menyimak tragedi bencana alam itu, dari waktu
ke waktu, dari hari ke hari.
Banyak yang bisa dituai di sana. Tergantung kau dari jenis yang mana?
Pengisi Surga, atau Pengisi Neraka. Apakah negarawan, politikus,
pengusaha, penganjur kebaikan, penyair, pengarang, bermunculan di sana
mengusung misi mulia. Walau tak jarang ada pula yang sekadar cengengesan
melakukan tamasya duka. Dan: Menjarah! Menjarah harta. Menjarah
perhatian. Menjarah popularitas. Kulihat semua itu ditayangkan mereka di
televisi.
Aku sempat menangis melihat ada orang tertangkap basah dengan muka
lebam dihajar petugas. Ya Allah, kataku dengan titik air mata, manusia
macam apa yang Engkau tinggalkan di zaman kami ini, di negeri yang aku
cintai ini. Maling pun Engkau kirim ke tempat duka semacam itu. Engkau
biarkan mereka memasukkan tangan ke dalam baskom, menyurukkannya ke
bawah serbet penutup, meraup uang selawat, di Nanggroe Aceh Darussalam.
Ini adalah gambaran nasib bangsa kami. Maling-maling Engkau biarkan
mengurus bangsa kami. Aku selalu bertanya kepada-Mu, dalam doaku: Kalau
ini juga tidak benar, kapan lagi Engkau beri kami pemimpin-pemimpin yang
benar? Jangan azab kami menunggu lima tahun yang melelahkan.
Aku duduk di halaman kedai kopi. Angin berembus membawa sejuk pagi.
Merbah terbang di ujung ranting, mencari buah pohon seri yang ranum.
Celah daun tersibak. Matahari terlindung di balik puncak menara
Baiturrahman.
Inilah sarapan pagi di luar hotel. Secangkir kopi, tiga potong pisang
goreng, sepiring kecil ketan hitam dengan taburan parutan kelapa.
Kututup sarapan pagi itu dengan sebatang rokok.
Seperti menuju masjid, subuh tadi, aku kembali ke hotel berjalan
kaki. Kunjungan singkat di Banda Aceh. Inilah saat yang bisa kudapat
dalam sejarah hidupku, shalat subuh berjemaah di Baiturrahman dan
sarapan pagi di luar hotel. Setelah itu, kurasa sulit datang ke Banda
Aceh. Pertikaian bersenjata tak kunjung selesai.
Di lobi, seorang lelaki berdiri dari sofa, menyongsong kedatanganku. Dia adalah penyair besar dari ujung Pulau Sumatera.
”Penyair besar yang tak pernah gemuk! Ke mana saja kekayaan bumi
kalian?” Dia senyum dan menyampaikan maksud: mengundang makan siang ke
rumahnya, di Kajhu, Aceh Besar.
Aku disambut banyak pemuda dan gadis remaja. Istrinya masih muda,
menggendong anak perempuan berkepang dua, memakai pita. Kami masuk ke
ruang tamu. Tak ada hiasan di dinding, kecuali ayunan rotan tersangkut.
Tali ayunan menjuntai di kaso. Di bawahnya hidangan santap siang sudah
tersedia.
Kami diajak ke belakang rumah. Berjalan di atas dua keping papan. Di
bawah langkah kami berkeliaran kepiting pantai. Kami menuju tempat
berangin-angin.
”Aku suka laut. Aku suka deburan ombak. Itu yang menimbulkan
inspirasi bagiku. Angin samudra mengabarkan pesan untuk ditulis.
Terkadang aku melempar pancing dari sini, bila pasang.”
”Abang tak suka laut. Gelombangnya menelan perahu Ayah. Mak menunggu berhari-hari di pantai. Ayah tak pernah pulang.”
”Bacakan puisimu untuk Abang,” teriak seseorang. Kami bertepuk dan
bergeser membentuk ruang. Dia berdiri. Kami melihat dia, juga melihat
laut di belakangnya.
”Aku heran, bagaimana engkau melewatkan malam-malam di sepanjang hidupmu dengan suara semacam itu?”
Perempuan itu mendengar ucapan itu sambil berbaring di tempat tidur,
meletakkan tubuhnya yang lelah. Dia tidak tanggalkan pakaian pengantin
dari tubuhnya. Si lelaki yang sekarang telah menjadi suaminya memandang
perempuan itu.
”Suara apa yang engkau maksud?”
”Deburan ombak di karang.”
”Aku tidak terganggu. Deburan itu sudah menjadi senandung pengantar tidur, bagiku.”
”Aku terganggu!”
”Engkau hanya belum terbiasa. Malam ini, malam pertama engkau menginap di sini. Di rumah kekasihmu. Di rumah istrimu sekarang.”
”Aku sangat terganggu. Mau rasanya aku mengambil kapas, menyumbat
telinga ini. Malam pengantin kita dirusak terpaan golombang itu. Tak ada
sunyi di sini.”
”Engkau tak bisa menjadi orang pantai. Engkau pernah dengar, orang
dilahirkan di perahu, dibesarkan di perahu. Dalam kampung terapung.”
Lelaki itu tidak hiraukan perkataan istrinya. Dia mungkin sedang tertarik pada sampulnya, atau mungkin pada judulnya.
”Sampah Bulan Desember. Sudah engkau baca buku ini?”
”Bagaimana aku sempat membacanya? Buku itu saja baru kita keluarkan dari kertas kadonya.”
”Maksudku, engkau sudah pernah membacanya di perpustakaan kampus?”
”Pengarang buku itu, kata Ayah, pernah datang kemari ketika aku masih
dalam ayunan. Kata Mak, aku menyambut kunjungannya dengan garis air di
bawah ayunan. Mak menggendongku. Menyangkutkan ayunan di dinding dan
mengepel garis air itu dengan karbol. Mak mengembangkan tikar rotan dan
meletakkan hidangan santap siang di situ. Ayah gembira dan puas.
Pengarang itu makan dengan lahap. ’Gulai pakis dan santan durian. Orang
Jakarta. Mereka tak pernah bisa melupakan lidah masa lalunya.’ Ayah dan
Mak mengenang semuanya, saat Pak Pos mengantar sebuah paket. ’Mala
menyambut pengarang itu dengan garis air di bawah ayunan’. ’Apa
maksudnya, Mak ?’ tanyaku. Mak menjelaskannya. Dan aku tertawa.”
Lelaki itu tidak tertarik dengan cerita istrinya. Dia berdiri dari
tempat tidur. Dia pergi ke jendela. Mungkin dia ingin melihat laut.
Tetapi dia tidak melihat apa-apa, kecuali kegelapan. Angin masuk membawa
bau garam. Buru-buru daun jendela dia tutup.
”Kalau adat membolehkan, malam pengantin ini ingin kupindahkan ke
tempat yang sepi, jauh dari deburan itu.” Tak ada jawaban. Dia alihkan
perhatian ke buku itu. Mengapa dia tiba-tiba begitu tertarik.
”Sampah Bulan Desember. Mengapa Desember?” Dia tersenyum. ”Mengapa ia
ditulis? Mengapa tidak Mei? Juni? Atau Agustus?” Seakan diganggu judul
buku itu, dia meneruskan ocehannya. ”Tapi mungkin, itulah istimewanya
Desember. Bulan yang ditunggu-tunggu orang di seluruh dunia. Bulan yang
bisa mengubah tahun setelah angka 31 di kalender.” Dia senyum. Mungkin
dia senyum karena dia berpikir begitu. ”Semisal pementasan,” katanya
ditujukan kepada si istri, ”tahun adalah lakon. Desember adalah aktor
terakhir dalam sebuah pertunjukan waktu. Dan, sebentar lagi layar akan
ditutup. Akan muncul lakon baru penghias dinding. Hanya tinggal beberapa
hari lagi. Desember akan digantikan Januari. 2004 akan digantikan
2005.” Dia tampak seperti menghitung dengan jari. ”Tinggal enam hari
lagi, Mala.” Dia melihat jam tangannya: ”Oh, tidak. Usia Desember sudah
tinggal lima hari lagi. Sekarang sudah pukul 01:45. Berarti ini sudah
Minggu. Minggu, 26 Desember 2004.” Dia menoleh kepada istrinya. ”Engkau
sudah tidur rupanya, Malahayati.”
Dia angkat kaki istrinya yang terjuntai. Disempurnakannya letak
berbaring perempuan itu. Dipandangnya istrinya yang sudah lama terlelap
karena lelah. Dibiarkannya perempuan itu tidur pulas. Sehari penuh
menyambut tamu. Dia tidak ingin mengganggunya. Malam-malam lain masih
ada. Masih panjang kehidupan bersamanya. Barangkali dia berpikir seperti
itu. Dia senyum memandang istrinya yang tidur pulas masih dalam pakaian
pengantin. Dia perhatikan dari kepala hingga ke kaki. Baru kali ini
dalam masa bergaul menjalin cinta dia melihat wanita itu tidur lelap di
atas ranjang. Apalagi malam ini, kekasihnya itu, tidur dengan pakaian
pengantin adat negerinya. Sanggul masih tertata rapi dengan hiasan emas
murni tiga tusuk konde bungong keupula. Kerabu bungong matauroe di kedua
daun telinga. Kalung lhee lapeh limong suson dengan mainan bungong
meulu dan taloe gulee. Gelang pucok reubong di kiri dan kanan tangan
yang seluruh ujung jarinya berwarna merah inai.
Semula ada gerak ingin membuka semua itu, tetapi gerak itu tidak
berlanjut. Barangkali dia tak ingin wanita itu terbangun. Melihat semua
itu, masih juga dia tersenyum. Perempuan Aceh tidur dengan pulasnya
mengenakan pakaian pengantin dan perhiasan begitu lengkap.
Dia beranjak ke dekat pintu. Ditekannya alat pemadam lampu. Kamar
pengantin itu menjadi gelap. Pelan-pelan dia rebahkan dirinya di samping
wanita itu, sambil berusaha melupakan suara gelombang yang
terus-menerus menghantam karang. Akhirnya dia tertidur juga dengan
pulas.
Kamar pengantin itu hanya diterangi lampu meja. Cahayanya yang redup
tersekap kap penutupnya. Di dinding ruang tengah, jam berdentang dua
kali.
0 comments:
Post a Comment