Menurut Anda, bagian tubuh manakah yang paling penting? Saya yakin, tak mudah untuk langsung menjawab. Tetapi, bila hal itu ditanyakan kepada nenek saya, serta-merta ia akan bilang, ”Kaki!” seraya mengangkat sebelah kaki, dengan telunjuk menukik lurus ke bawah, dalam hitungan yang tak mencapai detik.
Bila ada peribahasa berkata pelihara lidah, berjalan pelihara kaki,
maka Anda boleh yakin, hanya penggal terakhirlah yang penting bagi nenek
saya. Sementara untuk penggal pertama, ia akan menyergah, ”Lidah?!
Mestinya pelihara ludah!” seraya mengulum menciutkan bibir, lantas
mendorong dengan pipi kempotnya. Meludah. Merah, sirih bercampur sedah.
Dan kami takkan lagi bertanya. Karena bila
masih, maka mulut krumput Ine—begitu nenek biasa menyebut dirinya—akan
siap ”menembak” kami sesudah bilang, ”Mau he, kalian Ine ludahi?!” Tapi
tak jarang kami menantang, ”Mau Ine! Mau Ine!” seraya segera meloncat
mundur, tertawa terpingkal-pingkal, bergerak memencar, agar nenek tak
mudah membidik kami.
”Nah, kalian takut pada ludah! Bukan lidah! Hi-hi,” Nenek kemudian
juga akan terkekeh. ”Kaki! Lebih penting pelihara kaki!” Dan akan masih
beberapa kalimat lagi sebelum akhirnya nenek menunjuk ke bukit itu.
Bukit kecil, di pinggir kampung, dengan puncak yang aneh. Bila dilihat
dari rumah kami, puncak bukit itu tampak seperti sisi luar kaki yang
diacungkan telentang mengarah ke atas. Kenapa bisa begitu persis?
***
Tentu saja kami pernah mencoba naik ke bukit itu. Tapi karena bagian
yang bisa didaki atau ditempuh bukan sisi yang mengarah ke rumah kami,
kami tak menemukan bentuk yang jelas kecuali sedikit dataran berbatu di
puncaknya dengan banyak lumut hitam licin menyembul dari rerengkahan,
hingga kami harus melangkah sangat hati-hati. Dan di puncak itu, kami,
para cucu nenek, akan berteriak, ”Neneek, tak ada kaki! Neneeekk!”
terkakah-kakah seraya membayangkan alangkah seru menggoda nenek kalau
saja nenek bisa ada di situ.
Tapi entah kapan, suatu kali, kami terkejut oleh ucapan Adang, ”Ine
itu, dulu semasa muda, suka naik ke Bukit Kaki.” Adang adalah panggilan
kami untuk kakak perempuan tertua ibu-ibu kami. Artinya juga, ia adalah
anak sulung nenek, dan paling punya banyak waktu bersama nenek karena
(bahkan sampai tua kelak) tak pernah menikah. Spontan, kami saling
pandang.
”Mau apa Ine ke bukit itu, Adang?”
”Kenapa tak langsung kalian tanya Ine?”
Maka kami menghambur, berlarian mencari nenek. Mulanya nenek tak acuh
saat kami tanya. Tetapi setelah menggumpal-gumpalkan sirih, lalu
menyumpalkan ke balik gusi (seolah memang ada kantong khusus di situ),
nenek bergumam, ”Mmm kalian bocah-bocah takkan mengerti, tapi baik Ine
bilang. Ine sering naik ke bukit itu karena di situlah peruntungan Ine.”
Kami tak tahu apa itu peruntungan. Yang kami tahu cuma kata
beruntung. Kelak, bertahun-tahun kemudian, kami baru paham bahwa kata
peruntungan lebih berkaitan dengan jodoh, pernikahan, hubungan lelaki
dan perempuan. Tapi waktu itu, apa pun arti kata itu, tak ada bedanya.
Usman, adik sepupu yang usianya tepat di bawah saya, cepat bertanya.
”Jadi, tak berkaitan dengan kaki, Ine?”
”Jelas berkaitan.”
Kami semua bingung.
”Yaa… kalian bocah-bocah memang takkan mengerti. Kalau kaki Ine tak
melangkah ke bukit itu, maka Ine tak bakal bertemu Atuak kalian.”
Atuak adalah panggilan untuk kakek kami. Tapi kami tetap belum
mengerti, bahkan walau saya sendiri kemudian menanyakan, ”Ine ketemu
Atuak di bukit itu?”
”Tidak.”
Jadi…
”Karena kaki Ine melangkah ke arah situ, makanya Ine bertemu Atuak. Jadi kaki lebih penting dari apa saja.”
Ooo! Kami mengangguk-angguk, walau sebenarnya masih berpikir tentang
apa hubungan bertemu Atuak, kaki lebih penting, dan seringnya nenek ke
bukit itu. Kalau cuma karena bertemu Atuak, setelah bertemu kenapa mesti
datang lagi ke situ? Tapi keheranan kami yang tak terucap, bila dipikir
kemudian, mungkin karena nenek memang sering jalan kaki ke mana-mana.
Dan alasan nenek, bila kami tanya, selalu ia jawab cuma karena suka.
Sesuatu yang lalu jadi biasa, tak lagi menimbulkan heran, bahkan bagi
penduduk kampung. Bahkan sampai lama kelak, walau tubuh nenek sudah
bungkuk dan harus ditopang dengan tongkat, berjalan melangkah satu-dua,
berhenti, lalu melangkah lagi seperti kura-kura.
***
Kata seperti kura-kura saya gunakan tidak sambil lalu atau kebetulan.
Ungkapan itu pertama saya dengar dari Usman, saat beberapa dari kami
sudah masuk SMA di kota kecamatan, yang membuat hari-hari kami tak lagi
banyak di kampung. Anda benar bila menduga ungkapan itu berasal dari
orang-orang kampung, tetapi keliru bila mengira ungkapan itu langsung
mengarah ke sesuatu yang tak baik. Di kampung kami, banyak ungkapan
menggunakan nama binatang bukan karena sifatnya, melainkan lebih karena
gerak-geriknya.
Ungkapan-ungkapan itu, karena sangat khas dan menyangkut seseorang,
tak jarang jadi sangat dikenal. Dan untuk nenek yang dinilai orang-orang
kampung termasuk keturunan terpandang, ungkapan itu hampir-hampir
menyamai legenda. Tetapi legenda kura-kura nenek ini, baik saya beri
tahu, tak bertahan lama. Dia hancur bersama legenda lain, helikopter
Harun, yang juga akan saya ceritakan. Legenda kura-kura bisa bertemu
dengan legenda ganjil itu (ya, helikopter bukan nama binatang), tak lain
tak bukan, kaki jugalah yang menghubungkan.
Waktu itu, saat kami semua masih SD, keluarga besar kami melepas Mak
Etek ke Jakarta. Mak Etek, nama panggilan kami untuk adik lelaki
terkecil ibu-ibu kami (yang tentu pula berarti anak bungsu nenek),
melanjutkan kuliah ke Ibu Kota. Banyak sekali nasihat nenek kepada Mak
Etek, tapi yang justru kami ingat adalah apa yang kemudian diucapkan
nenek kepada kami, ”Kakilah yang menentukan hidup seseorang akan seperti
apa. Dan kaki itu kini telah membawa Mak Etek kalian ke Jakarta.”
Lama kami tak mendengar kabar tentang Mak Etek. Atau, mungkin pula
memang kami yang tak begitu peduli. Entahlah. Cerita tentang seseorang
merantau dalam keluarga besar kami tak begitu terperhatikan. Ada 11
orang anak nenek, ditambah dengan 18 orang anak adik-adik nenek (belum
lagi jika dihitung anak-anak sepupu nenek), maka mengingat kabar tentang
masing-masing yang merantau mungkin memang percuma, karena sesudahnya
akan segera lupa. Tetapi, rupanya, tak begitu dengan Mak Etek.
Suatu kali, seorang dari kampung sebelah yang juga merantau ke
Jakarta, pulang dan bilang bahwa Mak Etek telah sangat kaya. Kabar
seperti ini juga tak bakal terperhatikan, lazim saja para perantau jadi
kaya, kalau tidak ada kabar dan desas-desus sesudahnya, ”Saking kayanya,
si Harun itu kini ke mana-mana naik helikopter.”
Harun? Itu memang nama Mak Etek. Helikopter? Itu benda yang hanya
pernah kami lihat di gambar-gambar atau televisi. Ah, apakah benar,
apakah mungkin, Mak Etek bisa punya helikopter?
Bahkan orang terkaya sekecamatan—bukan hanya di lingkup kampung kami—cuma punya satu mobil sedan dan dua truk barang.
Maka segera, helikopter Harun jadi legenda.
Dan nenek, dengan kebanggaan yang tak bisa ia sembunyikan, jadi
sering bilang, ”Itu semua karena kaki! Coba, kalau kaki Harun tak
membawanya ke Jakarta.”
***
Sebetulnya, kalau mau jujur, bukan hanya nenek yang bangga. Banyak
dari keluarga kami, yang bila ngobrol, tak bisa menyembunyikan perasaan
bangga kepada keluarga lain. Bahkan, bukan hanya keluarga kami. Banyak
dari penduduk kampung, yang bila ngobrol, juga tak bisa menyembunyikan
bangga kepada penduduk kampung lain. Maka, keyakinan nenek pada kaki,
berkembang bagai tak terbantahkan. Seperti tak cukup kalau kaki hanya
dikatakan penting. Kaki adalah sesuatu yang terhormat.
Dan legenda helikopter Harun, bukan hanya ganjil. Anda tahu, tak
semua penduduk kampung kami kenal helikopter. Maka legenda itu,
kemudian, juga jadi mirip-mirip dongeng. Orang-orang membayangkan
seperti apa kini Mak Etek, seraya berusaha mereka-reka membayangkan
seperti apakah sesungguhnya helikopter.
Tetapi, suatu ketika, dongeng itu seperti akan jadi nyata. Terbetik
kabar bahwa Mak Etek bakal pulang. Bukan pulang sembarang pulang, tapi
pulang dengan suatu rencana besar: jalan raya akan dibentangkan, Bukit
Kaki akan diruntuhkan, dan di bawahnya akan dibangun pabrik semen yang,
konon, biayanya triliunan.
***
Dan, memang, saat itu akhirnya datang. Banyak sekali orang-orang,
para pekerja dengan alat-alat berat entah apa, datang ke kampung kami.
Pohon-pohon pun direbahkan, bagian-bagian puncak Bukit Kaki diledakkan,
tapi belum ada tanda-tanda Mak Etek bakal pulang. Beberapa paman, yang
biasa kami panggil Mamak, menyabarkan nenek. Tak ada reaksi dari nenek,
kecuali kian sering duduk di jendela, memandang ke arah Bukit Kaki
lama-lama.
Jalan kecil ke arah Bukit Kaki diperlebar, beberapa bagian mulai
diaspal, tapi tetap tak pasti kapan Mak Etek pulang. Bukan hanya ibu-ibu
dan para keluarga pihak sepupu yang kini bertanya-tanya, tetapi para
paman juga mulai gelisah. Dan persis saat kegelisahan itu seperti mulai
tampak menghinggapi nenek, berita besar menghantam bagai geledek: Harun
terlibat kasus korupsi.
Korupsi besar. Sangat besar. Melibatkan bank besar dan orang-orang besar.
Seisi kampung heboh. Bahkan sekecamatan. Bahkan sekabupaten, orang-orang tak henti mempercakapkan.
Berhari-hari, berminggu-minggu, Mak Etek kami jadi berita. Tak ada
lagi dongeng, karena orang-orang kini bisa melihat Harun dengan nyata.
Wajahnya muncul di halaman depan koran-koran, televisi-televisi pun
bagai tak henti menayangkan. Dan nenek kami, seperti Anda duga, mulai
tak lagi tampak di jalan-jalan. Legenda helikopter itu lenyap, runtuh,
membawa serta legenda kura-kura.
***
Tak ada lagi yang perlu saya ceritakan. Tapi kalau misalnya Anda
bertemu salah seorang dari kami (ya, para cucu nenek) lalu mendengar
cerita sedikit berbeda, itu wajar saja. Setelah nenek tak ada, memang,
ada beberapa versi cerita tentang nenek dan kaki, terutama di bagian
akhir atau penutupnya.
Banyak dari kami yang percaya, setelah Mak Etek dipenjara, nenek
bilang semua terjadi karena diledak dan diruntuhkannya puncak Bukit
Kaki. Tapi kepada saya, pada saat saya telah tamat kuliah dan akan
merantau pula sebagaimana lelaki anggota keluarga besar lainnya, nenek
mendekatkan kepala, seperti berbisik, ke telinga saya.
”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat Mak Etekmu celaka?”
Saya menarik kepala. Memandang bibir krumput nenek lalu menggeleng.
”Karena ia tak lagi menggunakan kakinya. Karena ke mana-mana hanya dengan kendaraan, di atas helikopter itu saja.”
Saya diam, hanya terpana. Sebenarnya, saya tak begitu yakin apakah
memang perlu menceritakan bagian terakhir ini kepada Anda hingga cerita
tentang nenek dan kaki punya versi yang tak sama.
Payakumbuh, 2009
0 comments:
Post a Comment