Pengarang : Indra Tranggono
Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh
kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku
tak ingin mencari sebab di balik matanya yang sembab. Aku sangat
menghormati keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam yang
menikam dan mengiris.
Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa
permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan
mengenakan di leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata
itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu
pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih
mendengar tangisku?”
Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang
telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya
untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan
dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.
Mendengarkan tangisnya yang panjang dan
menyayat, aku menduga dia sangat terlatih menangis atau setidaknya dia
punya pengalaman yang panjang dalam soal tangis-menangis. Tentu saja,
dugaanku itu sama sekali tak berhubungan dengan dirinya yang perempuan.
Tangis bukan hanya milik perempuan, tapi juga laki-laki.
Aku juga sama sekali tidak menganggap ia cengeng, apalagi
menghubungkannya dengan raut wajahnya yang sendu dan melankolis. Bagiku
ia menangis karena memang harus menangis. Tidak setiap tangisan punya
alasan. Karena itu, aku tetap kukuh untuk tidak bertanya kenapa dan
untuk apa dia menangis. Kupikir itu tidak sopan.
“Kamu tidak ingin tahu kenapa aku menangis?” ujarnya lirih.
Aku menggeleng. Dia memberikan tatapan yang mengambang. Mungkin aku
dianggapnya aneh dan berbeda dengan banyak laki-laki lain yang selalu
ingin tahu alasan seorang perempuan menangis. Lalu, laki-laki itu
mencoba menjadi tukang pemberi nasihat dengan kata-kata yang gagah dan
gemerlap, namun setelah itu menyatakan jatuh cinta. Simpati seperti itu,
kupikir, tak lebih dari jebakan.
“Kamu tidak ingin tahu, kenapa aku menangis?”
Aku tersentak, namun cepat-cepat menguasai diri dengan mengambil
nafas dalam dan panjang. Kegugupan mendorongku untuk menghunus sebatang
rokok dan menyulutnya. Kuhisap rokok itu kuat-kuat dan kuhembuskan
asapnya.
Aku tak berani menatap wajahnya. Aku memilih menyapu pandangan pada
botol-botol bir yang kosong, pada gelas-gelas yang menganga, atau cawan
berisi kacang goreng. Aku merasa kecanggungan itu mencair ketika
perempuan pelayan kafe datang dan mengangkat botol-botol itu. Tanpa
berpikir panjang, kupesan dua botol bir dan satu porsi kentang goreng.
Perempuan pelayan itu cepat melesat setelah pesananku dicatat. Kurasakan
suasana canggung kembali mengurung.
Musik blues mengelus ruangan. Seorang penyanyi berambut coklat mengalunkan lagu. Irama dan suaranya menjelma sembilu.
“Apa bagimu kisah perempuan selalu membosankan?”
Kembali ia menohokku. Hatiku merasa tersodok. Aku sulit menjawab.
Kurasakan aku gagal menyusun setiap kalimat atau suaraku seperti
tercekat di tenggorokan.
“Aku selalu tertarik pada kisah-kisah perempuan. Namun, aku tidak
bisa memaksa setiap perempuan untuk menceritakan. Apalagi kita saling
kenal belum cukup lama.”
“Bagaimana kalau aku yang bercerita, tanpa kamu merasa bersalah untuk mendengarnya?”
“Tapi aku lebih suka mendengar tangismu.”
“Kenapa? Kamu merasa terhibur?”
“Bukan. Bukan. Jangan salah paham.”
“Lalu, kenapa? Bukankah umumnya setiap orang menangis? Apa istimewanya tangisku?”
“Tangismu sangat indah….”
Dia diam. Aku tak tahu perasaan apa yang kini mengaduk-aduk hatinya. Aku sangat khawatir, ucapanku tadi menyakiti hatinya.
Pelan-pelan ia menyeka air matanya, dengan sapu tangan kecil.
“Aku sudah sangat lelah menangis. Aku telah menangis sepanjang waktu, sepanjang usiaku….”
Suara penyanyi yang menyayat, tiba-tiba menerobos, lalu pelan-pelan menghilang diringkus kesunyian malam.
Tanpa kutanya, perempuan itu bercerita. Pertama kali dia menangis
dengan perasaan terluka sangat dalam ketika dia masih tumbuh remaja.
Waktu itu, seorang laki-laki setengah baya—yang telah dianggapnya
sebagai orang tuanya sendiri—menggagahi tubuhnya. Tangis dalamnya yang
kedua adalah, ketika semasa mahasiswa: seorang laki-laki mencoba
memerkosanya. Tangis ketiganya pecah ketika ia dilecehkan secara seksual
oleh seorang laki-laki, bos dari sebuah perusahaan, tempat ia melamar
pekerjaan. Tangis keempat, tangis kedua puluh lima, tangis keseratus
satu… ah dia sudah tidak ingat.
“Aku sebenarnya ingin mengakhiri tangisan hidupku. Ya, malam ini, ketika bersamamu.”
Darahku berdesir. Degub jantungku meningkat cepat.
“Kenapa harus bersamaku? Apa istimewanya diriku?”
“Kamu pendengar yang baik. Entah kenapa, aku merasa aman dan nyaman. O
ya, meskipun kita baru seminggu ini saling kenal, aku merasakan kita
sudah bersahabat sangat lama.”
Aku merasa sedikit tersanjung, meskipun mungkin baginya aku ini tak lebih dari keranjang sampah yang baik dan santun.
“Tapi, ternyata kamu ini laki-laki paling aneh sepanjang yang kutemui
dalam hidupku. Kamu tak pernah ingin tahu apa alasanku menangis? Aku
merasakan tangisanku ini sia-sia….” Kembali dia “menyerangku”.
Darahku kembali berdesir. Beban rasa bersalah mendadak menindihku.
Aku menenggak bir langsung dari botolnya. Namun dingin bir itu kurasakan
tak bertenaga meredam gebalau galau dalam hatiku.
“Aku baru saja cerai dengan suamiku,” ucapnya tiba-tiba.
Aku tersentak, tapi aku tak kuasa untuk mencari sebab. Aku hanya
berani menebak-nebak dalam benak. Mungkin, dia merasa dikhianati
suaminya yang berselingkuh dengan wanita lain. Atau, justru dirinya yang
meninggalkan suaminya karena tertarik pada pria lain? Atau alasan klise
lainnya. Aku sama sekali tak tertarik mengusutnya.
“Sekarang aku tinggal sendirian. Kebetulan, kami belum dikaruniai
anak, meskipun kami telah berumah tangga selama hampir empat tahun.”
Perempuan itu berbicara dengan pasti, tanpa emosi. Aku heran, kenapa
kini dia tidak menangis?
“Aku ingin mengakhiri tangis hidupku malam ini, bersamamu. Kamu tidak keberatan?”
Aku mengangguk.
Malam telah menjelma gelaran kain waktu yang lusuh, mungkin juga
basah oleh air mata perempuan yang sepanjang pertemuan kami tadi selalu
menagis. Aku kaget, mendadak ia menggenggam tanganku kuat-kuat. Aku
ingin menariknya, tapi tak kuasa. Kurasakan kehangatan mengaliri jiwaku.
Aku pun pasrah dalam genggamannya.
“Aku pulang dulu. Besok kita bertemu lagi di sini,” bisiknya.
“Kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu?” aku memberanikan diri bertanya.
Agak lama dia diam. Menimbang-nimbang, mungkin dengan bimbang. Namun,
gumpalan kecemasanku pun runtuh oleh anggukan kepalanya. Kurasakan
sayap-sayap dalam tubuhku tumbuh.
***
Rumah perempuan yang kukenal bernama Sonya Rury itu terletak di
sebuah perbukitan yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari kota. Mobilku
pun cepat melesat, mencapai rumahnya yang mungil tapi indah itu.
Ia menggenggam erat tanganku, membimbingku memasuki ruang tamu.
Ketika ia masuk kamar tidurnya, aku duduk mengatur nafas dan degup
jantungku. Saat itu aku baru sadar, aku lelaki yang miskin petualangan.
Mendadak ia memanggil namaku. Ia memintaku masuk ke kamarnya.
Jantungku cepat berdegup. Aku gugup dan hanya bisa terpaku diam di sofa.
Ia mengulangi permintaannya. Kegugupan membimbing langkahku.
Di kamar yang bercahaya temaram itu, ia berdiri memunggungiku. Hanya
separoh tubuh kuning langsatnya yang dibalut kain. Kutatap tubuhnya
lekat-lekat. Namun, perasaanku yang campur-aduk mendorong niatku untuk
berbalik keluar dari kamar. Dia mencegah.
“Kamu tidak melihat punggungku?”
“Ya, punggungmu penuh bekas luka. Bahkan beberapa luka masih tampak baru dan segar…,” ucapku lirih.
“Kamu ingin tahu, kenapa luka-luka itu terpahat di punggungku?”
Dia memelukku.
“Siapa yang melukaimu?” aku gagap bertanya.
Sonya pun berkisah. Dia bertemu dengan seorang laki-laki yang
berwajah menawan di sebuah kafe. Mereka pun lama berpacaran. Laki-laki
itu menyatakan jatuh cinta dan berniat mengawininya.
“Tapi sebenarnya kami tak pernah menikah…. Maafkan aku telah berbohong di kafe tadi…. Kami hanya kumpul kebo….”
Di bawah ancaman pembunuhan, ternyata laki-laki itu menjual Sonya kepada para pelanggannya.
“Seluruh pukulannya telah merata dalam tubuhku. Juga sayatan dan tikaman pisau lipat.”
Dengan sukma yang selalu meradang, Sonya terpaksa melayani beberapa
laki-laki yang bisa membayarnya. Setiap malam. Seluruh tubuh dan jiwanya
terasa ngilu.
“Tapi aku tak pernah melihat uang hasil keringatku, apalagi memilikinya….”
Sonya nekat berlari.
“Inilah rumah persembunyianku. Liang hidupku….”
Malam telah menyusut, kegelapan pun semakin surut. Angin pagi bertiup
memasuki seluruh ruangan rumah ini, mengusap tubuh Sonya yang penuh
luka.
Kutatap wajah Sonya yang tertidur pulas. Mungkin ia sedang menyusun
kedamaian dalam hatinya, di tengah pelarian yang penuh kecemasan.
Aneh, aku merasa telah menjadi bagian dari dunia Sonya yang cemas.
Kulihat mata Sonya tak lagi sembab. Ia telah mengakhiri tangis dalam hidupnya.
Ndalem Tirtonirmolo 2010
0 comments:
Post a Comment